Fakir Miskin Dan Anak Terlantar Dipelihara Negara Pasal Berapa
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri meminta seluruh kader partainya untuk turun ke bawah. Tujuannya untuk menyentuh seluruh lapisan masyarakat atau akar rumput untuk memenangkan PDIP dan Ganjar Pranowo pada Pilpres 2024.
Megawati bahkan mengingatkan kembali pernyataan Presiden pertama Republik Indonesia soal ‘Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin’. "Karena apa kata Bung Karno, di dalam gubuknya rakyat miskin itulah energi perjuangan kepartaian berasal dan Tuhan bersemayam di gubuknya rakyat-rakyat miskin," ujar Megawati dalam pidatonya di puncak peringatan Bung Karno, Sabtu (24/6/2023).
Presiden kelima RI itu menegaskan watak politik yang berpihak pada akar rumput atau rakyat seperti itulah yang dipahami PDIP. Hal tersebut juga tercermin lewat rapat kerja nasional (Rakernas) III yang digelar awal Juni lalu.
Rakernas tersebut mengingatkan agar negara terhadap salah satu poin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni, fakir miskin dan anak terlantar harus dipelihara negara. "Itu nanti yang akan menjadi pegangan kita untuk supaya kita bisa menang kembali," ujar Megawati.
Megawati juga menyinggung kembali soal pengentasan stunting yang dialami sejumlah anak di Indonesia. Stunting adalah kondisi kurangnya tinggi badan anak yang disebabkan kekurangan gizi. Dia pun meminta seluruh elemen partai untuk turun membantu masyarakat mengentaskan stunting.
Menghapus kemiskinan ekstrem bukan semata-mata diukur oleh pendapatan masyarakat melainkan, kata Megawati, juga memberikan rasa keadilan bagi seluruh rakyat di segala aspek kehidupan. "Menghapuskan kemiskinan ekstrem, itu bukan sekadar ukuran pendapatan dalam sehari, namun rasa bahagia terlindungi menyangkut keadilan pekerjaan yang layak akses terhadap pendidikan sarana kesehatan, kebijakan sosial negara," ujar Megawati.
"Semua itu kalau bisa terjadi, pasti, apa yang dikatakan tadi oleh Bung Karno di gubuk-gubuk orang miskin itu lah ada Allah SWT, itu pasti kelihatan terus rasa bahagia," sambungnya.
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Fakir Miskin dan Anak Terlantar Dipelihara oleh Negara. Apakah Hanya Menjadi Hiasan Belaka?
Setya Dharma Pelawi (Senator Jaringan Aktivis ProDem)
Kita sepakat bahwa di Negara Indonesia segala sesuatu telah diatur oleh UUD 1945 dan merupakan landasan konstitusi bagi Negara Republik Indonesia serta UUD 1945 juga sebagai dasar hukum tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam menjamin hak konstitusional warga negara.
Bangsa dan Negara Indonesia didirikan khususnya untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan Undang – Undang Dasar 1945, Pasal 34 ayat 1, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Mengacu pada pasal tersebut tanpa disadari Negara meletakan beban kepada dirinya sendiri berupa kewajiban untuk menanggung sebagian deritaan masyarakat miskin dalam hal ini, atas dirinya sendiri maupun kegagalan pemerintah dalam mensejahterakan masyarakatnya.
Dari tahun ke tahun pemerintah selalu membuat program untuk mengentaskan kemiskinan hal ini merupakan hanya bersifat sementara. Seperti yang kita ketahui hanya untuk menyembuhkan gejala saja tapi bukan penyakitnya. Sehingga program tersebut hanya membuat masyarakat tetap miskin dan membuat masyarakat menjadi ketergantungan secara berlebihan atas bantuan pemerintah hanya bersifat instan bukanlah solusi untuk mengentaskan kemiskinan.
Kita bisa melihat di lapangan, dengan kasat mata masih banyak anak-anak mengamen, pengemos dilampu merah dan tidur di depan emperan kios beralasan kardus, ini menunjukan tidak berjalannya Pasal 34 ayat 1 UUD 1945. Rakyat Indonesia selalu bertanya apakah pemerintah sudah menjalankan amanat UUD 1945 dan kemana kekayaan alam yang yang melimpah milik Negara. Sangat berbeda dengan kehidupan para elite politik dalam penyelenggaraan negara, banyak oknum elite politik baik di daerah mau pusat terlibat dengan kasus korupsi yang semakin marak maupun terlibat kasus tindak pidana pencucian uang dan menjadi mafia pajak.
Saat ini saja ada indikasi ada kebocoran keuangan negara dalam kasus pajak sekitat 300an Trilyun Rupiah. Ini yang sangat memprihatinkan, mereka sudah jelas-jelas sebagai penghisap kekayaan Negara. Mereka masih bisa tersenyum melihat indahnya kehidupan seakan-akan tidak ada salah dengan jabatannya, sehingga ada istilah dari rakyat dengan hasil korupsi mereka masih bisa menikmati hasil korupsinya sehingga korupsi bagian dari gaya hidup.
Setiap tahun pemerintah selalu membuat anggaran dalam rangka mengurangi jumlah kemiskinan dan anak terlantar, namun angka kemiskinan masih tetap tidak menurun, kemiskinan memang sebuah permasalahan yang sifatnya paradoksal dan pada sisi lain bahwa kemiskinan dapat menjadi modal sosial bagi para politisi ataupun para pengkritik kebijakan pemerintah dalam pengertian dapat menjadi gagasan politik atau idenya dalam menyerang pemerintah.
Sebagai politisi mereka hadir untuk membela kaum miskin dengan harapan seolah–olah politisi yang peduli dengan mereka dan untuk mendapatkan dukungan dalam pemilihan caleg ataupun pilkada. Setelah mereka menjabat tentu fakir miskin dan anak terlantar akan dilupakan, hanya kepentingan otoritas dan elitis dan menjauhkan mereka dari unsur yang dulu dijadikan legitimasi perjuangan. Kemiskinan merupakan masalah yang komplek dan bukan hanya persoalan ekonomi saja tapi merembet pada permasalahan kemanusiaan.
Selama ini pemerintah dalam penanganan masalah kemiskinan hanya sekedar pengalihan isu-isu yang berkembang di masyarakat misalnya kenaikan BBM, kemudian pemerintah membuat program memberikan bantuan langsung tunai (BLT), namun kebijakan ini tidak tepat sasaran dan cendrung hanya bermuatan politik saja. Kita dapat mempertanyakan penerapan pasal 34 ayat 1, kalau sudah diterapkan secara terstruktur sudah tentu tidak ada lagi Rakyat Indonesia hidup kurang layak atau berada digaris kemiskinan.
Negara melalui pemerintahannya harus berkewajiban untuk mencukupi kebutuhan dasar bagi fakir miskin dan anak terlantar yaitu kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan. Bagaimana fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara kedepannya, dalam mengentas kemiskinan di Indonesia haruslah dibuat program secara terencana, terpimpin dan berkelanjutan.
Kalau kita melihat para capres 2024, hanya Anies R Baswedan yang mampu menerapkan pasal 34 ayat 1 UUD 1945, hal ini sudah dibuktikan pada saat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pemimpin yang memiliki rasa keadilan, keberpihakan dan kepedulian kepada masyarakat miskin adalah kunci untuk menerapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
%PDF-1.3 %âãÏÓ 2 0 obj << /CreationDate (D:20160530054453-07'00') /ModDate (D:20160530054453-07'00') /Producer (BCL easyPDF 7.00 \(0355\)) /Creator (easyPDF SDK 7 7.0) >> endobj 8 0 obj [ 0 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 0 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 226 326 401 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 855 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 525 507 507 507 507 230 507 507 507 507 507 507 507 507 349 507 507 507 507 507 433 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 226 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 ] endobj 11 0 obj [ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 778 778 250 333 555 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 722 667 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 944 778 778 778 778 722 556 667 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 556 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 444 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 250 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 ] endobj 14 0 obj [ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 778 778 250 333 408 778 778 778 778 778 333 333 778 778 250 333 250 278 778 500 778 500 500 500 778 778 778 500 278 778 778 778 778 778 778 722 667 778 722 778 556 722 722 333 778 722 778 889 722 778 556 778 667 556 611 722 778 778 778 722 778 778 778 778 778 778 778 444 500 444 500 444 333 500 500 278 278 500 278 778 500 500 500 778 333 389 278 500 500 722 778 500 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 444 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 444 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 250 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 333 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 ] endobj 17 0 obj [ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 778 778 250 333 420 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 500 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 833 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 500 778 444 500 444 778 778 778 278 778 778 278 722 500 500 500 778 389 778 778 778 778 778 778 444 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 250 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 ] endobj 1 0 obj << /Count 0 >> endobj 3 0 obj << /Type /Catalog /Pages 4 0 R >> endobj 19 0 obj << /Length 1927 /Filter /FlateDecode >> stream xÚ�XÛnã8}÷Wè‘�HQ·yYt#;· ƒl·ƒÅb²L¬±]ìÑezò÷{ªHÙòm²hÀ%Yßø¹OO÷þI:ñs›²}+kÓW¦½¹ÓY$^Ìæ»XD¢/›Ñx›mgÚ5?ÇTä!`'£¹�“L´˜`Iä1, jV<+Ub×Ù¶·»öÝ!”Ÿ@– K&ÈBø)ñµÜX‹ʰu=vãæ’W_LEàüÜ®¶mÙ[`õ±¯Í&
%PDF-1.7
%âãÏÓ
1 0 obj
<>
endobj
2 0 obj
<>
endobj
3 0 obj
<>
/Font <>
/XObject <>
/ProcSet [/PDF /ImageB /ImageC /Text]
>>
/Parent 20 0 R
/MediaBox [0 0 595.2200 842]
>>
endobj
4 0 obj
<>
stream
xœ½YK¯ÅÖÅøbN�yÙØÁ1žžŸ¡«ßM’M”lP6Žî³")’‰lþ¿ÄWÓ3ÓÕçtû:‰{3w¦º_=»ÎóAͤÅÿ·‡ž¾þ{~úå@ÿñÓ�¹Ù
Æxš)DÁ¤¼^üóðã—‡å8Ó=çOnùŸÝÀçø”š}È|ãð—žžâløßB+Ÿx6üù
„i€È䇫jN)Y²™ï�ÌlüŒ™�®ž¾/¦£žµòQ�¯MG3'm=�7&š=áèø:wÞ¥ñæþ´’//§£šµÁ™ñ�ýí-ñöÍégm•u›T<ý¢ PôBèÉ)5ŠäbõŠ‘šUL$yüf:ÚY9gãøVyO_d‘Œ[ÿP^y¢8ÞžŽaN%/¼]ؼÓdþ¢€à?�HR¼Ç|-o¥:ïK�6uïLf&‚Ù€
ÁŽwów2Ëùﯾ=@ &‡£&Ø«ÀÿÂé"VЃ¶+ïä‚ü.õÊ {V�úèæÔ¬$>Â+òè� ¸Šs&/A¯å•»uP]㕶ßî6Cç¶ Ž)q~³Äp‘,(ïíØŸ;µ^89Ü©uåäû;ŸV:ßkB%�z¾÷ª* ,Øe,ªôG`$e´®ØÝ/Úý¶Íã²S-¶x+„p•à!�©KDFu)ªHs[Š*
i.ªñ!ž‘÷¹ªÞ J‘RÐ�³:*Å¡ffo½e=Ñ3Œ²‰z´w%(Àr:þ`¢µ‹YvÎ�ïç£Ñ5‰Šž‰f‘ï*GÁs1‰ íã¬F@¼…&&YŽ�M
‡+H\ÖšlÂoM!æˆÎð hx:¹,—U»ú׉ff¶ÚM±›PºDb÷‘žëÅ:ÒÒ"„bK…�Ø¡ƒè3± ¸œBMż›�6áD±4hUy–ÌêY£8™ï`¿eÏ®gŽ
ºùQk&X¬¸ÍÑ”‚.#m�r@ŒMzñ{s
s2ÜjîÚ7™É$¿ÄàöRº˜€&:øæâ"Ú,JW†pÂïVlá–Bàbœ}Ìáy2]°V�²Lòéò€=žtŠnüݤgÈ ÄCç0~T,‘pÊ�¿/¯³£È†�4N:L.¹%(0ŽÊ¡Ù´o¼4~ê¨Ýf‘-·&IË;瞎â dòtÊf·WÜ$Y¢FÒHÀ*Æ?ìˆG_fe5GL’Ñæ ÿxbw(e€þÑÏš{Çê#< pWçlÚ~Y#‰I·Q5`\âGpîÿ*•ý9Ä�¯Å$C}@+rTQ4™}µc\Ø‚páqÛŸ·±>v]Ð<ÚBñ³N|”ŒéD–0Zű—'1A 5 ÅQÅ=>àõe§-Þ–X©}UÑY—|ÃÍ;X˜ôpè8ïÖî